KISAH WALI SONGO
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain
ARTI WALISONGO
Ada beberapa
pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan,
yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari
kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya
lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa,
yang berarti tempat.
Pendapat
lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404
Masehi (808 Hijriah).[1]
Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian,
kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Asal usul SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau
Jawa. Sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk
di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita
bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada
tahun 1082 M.
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat
sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M.
Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah
Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha.
Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang
beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan
strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an yaitu
:
“Hendaklah engkau ajak kejalan TuhanMu dengan
hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah
mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. An
Nahl ; 125)”
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan
pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi
orang-orang Hindu di pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negara Hindia yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu.
Di
Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam
yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya , beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang
salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan
keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf arab yang terdapat pada batu nisannya dapat
diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong
fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu
menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya
pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis dimakamnya ialah sbb : “inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat
Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para
Fakir dan Miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan
agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya
dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke dalam Surga. Telah Wafat
pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan
ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik
meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan
daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada
semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai
tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk
agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal beliau menghadapi rakyat jelata yang
pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menjelaskan Islam secara
njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah
dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan
bersyukur kepada yang memberikan Rezeki yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat
terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama
Hindu membagi masyarakat menjadi 4 kasta yaitu ; kasta brahmana, kstaria,
waisya dan sudra. Dari ke empat kasta tersebut kasta sudra adalah yang paling
rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka ketika
Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang didalam Islam,
orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik
Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang
sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan.
Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka
hanyalah yang paling taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala
gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan
di akherat kelak, orang yang bertaqwa sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi
lebih mulia daripada mereka yang berkasta ksatria dan brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta
sudra dan waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya
sebagai manusia yang utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian
mendirikan mesjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun
mesjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat
meneruskan perjuangan menyebarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh
Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan
Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian pesantren yang pertama kali di Nusantara itu di
ilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan Pendeta Brahmana
yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu, orang Budha dan Hindu
yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara
frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan pesantren yang mirip dengan
mandala-mandala miliki kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring umat.
Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul
para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi pesantren tersebut berlangsung hingga dijaman
sekarang. Dimana para ulama menggodok calon mubaligh dipesantren yang
diasuhnya.
Bila orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka
beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah
dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan
mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya tentang :
Apakah yang dinamakan Allah itu ?
Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang
memberi pahala surga kepada hambaNya yang berbakti dan menyiksa
sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.
Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat
yang diperlukan adaNya.”
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di
Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama
Islam, melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik
menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari
gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi
subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka
dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi
dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak
beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran
menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus
ditiru.
Komentar
Posting Komentar